Stunting menjadi topik bahasan yang paling sering diperbincangkan, terutama di bidang gizi dan kesehatan. Bahkan, tema yang diangkat pada Hari Gizi Nasional ke-62 berkaitan dengan stunting. Tidak hanya itu, beragam upaya pemerintah dikerahkan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan stunting di Indonesia. Pemerintah juga telah menetapkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Dari banyaknya upaya yang dilakukan, bisa kita lihat bahwa stunting merupakan permasalahan serius dan bukan sekadar ucapan belaka. Sebelum membahas lebih dalam, tentunya kita perlu mengenali apa sih sebetulnya stunting itu dan seberapa besar kah permasalahan stunting di Indonesia?
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Berdasarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dikatakan stunting apabila anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2 SD/standar deviasi atau disebut dengan stunted dan jika nilai z-scorenya kurang dari –3 SD disebut dengan severely stunted. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30.8%. Sedangkan berdasarkan hasil integrasi Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) dan Susenas Maret 2019, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27.7%.
Jika dibandingkan dengan prevalensi stunting di tahun 2013, yaitu sebesar 37.2% yang didasari pada hasil Riskesdas 2013. Maka terjadi penurunan angka stunting rata-rata sebesar 1.6% per tahun dalam 6 tahun terakhir. Namun, apakah penurunan ini sudah cukup? Hal ini terkait dengan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024, dimana pada tahun 2024 ditargetkan prevalensi stunting menjadi 14% Maka dari itu, diperlukan penurunan angka stunting sebesar 3.0% per tahun.
Stunting tidak terjadi dalam waktu sekejap, melainkan disebabkan adanya kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir atau selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Pastinya pembahasan tentang stunting tidak luput dari 1000 HPK. Mengapa demikian?
Periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) dimulai sejak 270 hari masa kehamilan sampai dengan 730 hari (2 tahun) setelah anak dilahirkan merupakan periode kritis sekaligus periode emas yang menjadi penentu kualitas jangka pendek dan jangka panjang seseorang. Asupan zat gizi optimal dan pola asuh yang benar pada 1000 HPK sangat diperlukan dalam menunjang perkembangan otak dan mencegah terjadinya dampak serta gangguan yang sifatnya tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible), seperti stunting. Dampak yang ditimbulkan, seperti gangguan perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan metabolisme, serta anak menjadi mudah sakit.
Lalu, apa saja yang bisa dilakukan selama 1000 HPK sebagai bentuk intervensi penurunan angka stunting dan pencegahan permasalahan stunting di Indonesia?
Pemerintah Indonesia menetapkan Kerangka Intervensi Stunting yang terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Apa yang membedakannya? Intervensi Gizi Spesifik dilakukan pada sektor kesehatan dan berkontribusi sebesar 30% pada penurunan stunting. Sedangkan Intervensi Gizi Sensitif berkontribusi 70% pada penurunan stunting dan intervensi ini dilakukan melalui berbagai kegiatan di luar sektor kesehatan. Maka dari itu, pencegahan dan penanggulangan stunting bukan hanya menjadi ‘tugas’ sektor kesehatan, melainkan semua sektor dan seluruh masyarakat di Indonesia secara bersama-sama.
Intervensi Gizi Spesifik yang dilakukan selama 1000 HPK ditujukan pada sasaran ibu hamil, ibu menyusui, dan anak dengan usia 0 – 23 bulan. Bentuk intervensi yang dilakukan meliputi adanya pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, zat besi, asam folat, dan yodium, serta menanggulangi kecacingan pada ibu hamil. Selain itu, beberapa kegiatan lain yang dilakukan adalah kegiatan Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) meliputi mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD), pemberian ASI Eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) mulai dari anak usia diatas 6 bulan, meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. Ditambah lagi dengan menyediakan obat cacing, memberikan imunisasi lengkap, dan melakukan pencegahan serta pengobatan diare.
Untuk Intervensi Gizi Sensitif lebih kepada masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil serta balita pada 1000 HPK. Kegiatan yang dilakukan meliputi menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih, sanitasi, melakukan fortifikasi bahan pangan, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, serta beberapa kegiatan lain yang dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Kerangka Intervensi Stunting telah dirancang oleh pemerintah, lalu bagaimana pelaksanaannya dan peran aktif masyarakat dalam penanganan stunting di Indonesia?
Sebetulnya jika kita lihat, sudah cukup banyak inovasi dan kegiatan untuk penurunan angka stunting yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, seperti organisasi non-profit dan komunitas-komunitas di Indonesia. Mulai dari pemberian edukasi dan informasi melalui media sosial terkait stunting sampai dengan aksi langsung ke masyarakat melalui posyandu dan pelayanan kesehatan lainnya. Sebagai individu dalam keluarga, peran kita juga sangat diperlukan untuk pencegahan stunting di Indonesia. Peran yang mungkin bisa kita lakukan, diantaranya:
- Beri dukungan melalui keluarga
- Edukasi diri dan orang sekitar terkait informasi stunting
- Biasakan pola makan yang sehat dan bergizi
- Ajak orang sekitar untuk berperan aktif
- Selalu jaga sanitasi dan kebersihan
Agar lebih mudah diingat, kita bisa singkat dengan kata ‘BEBAS’. Ayo cegah stunting, kita tumbuh menjadi Generasi BEBAS Stunting untuk Indonesia yang lebih cemerlang.
Kontributor Media Edukasi Indonesia : Aninda Putri Feliza