Makna Segelas Dawet Ayu Banjarnegara Dalam Adat Jawa–Banjarnegara, Jawa Tengah, memiliki salah satu kuliner khas yang cukup terkenal yaitu cendol atau dawet ayu. Menu tradisional ini sangat mudah kita temukan, mulai dari resto dan hingga pasar tradisional.
Setidaknya ada beberapa nama untuk cendol atau dawet ayu ini. Kata “cendol” berasal dari kata “jendol” yang berarti “bintil”. Cendol adalah bulatan kecil berwarna hijau dengan bahan dasar tepung beras yang tersaji dengan es serut, santan, daun pandan, dan gula tebu. Bisa dipastikan minuman ini akan sangat lezat jika kita konsumsi saat cuaca sedang panas.
Makna Segelas Dawet Ayu Banjarnegara Dalam Adat Jawa
Selain itu, gagang sendok yang biasa mereka gunakan untuk mengolah dawet ayu dari airnya juga berasal dari pohon kanthil. Gagang ini menggambarkan sosok kepala suku Jawa yang konon memiliki paras rupawan seperti Dewa Srikandi.
Menurut situs resmi Kabupaten Banjarnegara, Tjundaroso, ketua Dewan Kesenian Banjarnegara, mengatakan dawet Banjarnegara menjadi terkenal karena sebuah lagu ciptaan seniman Banjarnegara bernama Bono dan berjudul “Dawet Ayu Banjarnegara.”
Lagu ini populer pada tahun 1980-an oleh calung Banyumas dan kelompok seni komik Peang Penjol yang terkenal di Banyumas pada tahun 1970-an dan 1980-an. Sejak itu, sebagian besar masyarakat Banyumas telah mendengar tentang dawet Banjarnegara atau terkenal dengan nama dawet ayu.
Simbol rezeki bagi pengantin
Jika kita lihat dari kejauhan, dawet ayu memiliki makna simbolis sebagai sumber rezeki bagi pasangan pengantin. Prosesnya mulai ketika orang tua mempelai wanita memecahkan kendi berisi air yang telah mereka doakan. Pecahan tersebut akan para hadirin ambil sebagai alat pembayaran pembelian dawet.
Makna yang terkandung dalam pembayaran dengan tanah liat kreweng ini seperti kembali ke bumi. Manusia membutuhkan semua hasil bumi dan akan kembali ke sana. Selain itu, dawet yang berbentuk seperti bulan melambangkan tekad kedua insan dalam menjalani rumah tangga selama sisa hidup mereka.
Dawet ayu juga mereka anggap sebagai simbol hidup sederhana oleh masyarakat Jawa. Filsuf menganggap komposisi cendol sebagai proses vital di mana hidup itu keras, tidak sehat, manis, asin, dan menyegarkan. Semuanya harus dilakukan dengan hati-hati dan kerja sama masyarakat.
Terakhir dan tanpa kita sadari sebelumnya, gambar wayang Semar dan Gareng yang biasa terdapat di gagang centong Dawet Ayu yang memiliki filosofi Mareng. Mareng adalah bahasa Jawa kuno yang hanya digunakan oleh orang dahulu dan mengacu pada musim kemarau. Artinya nenek moyang zaman dahulu memohon kepada Tuhan agar selalu mendapat cuaca panas agar barang dagangan dawet ayu ini bisa laku terjual.
Yuk, kunjungi laman Instagram dan Facebook Media Edukasi Indonesia untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta unik lainnya ya!