Fenomena Heat Island Picu Suhu Panas di Jabodetabek –-Kamu mungkin pernah memperhatikan bahwa suhu udara di Jabodetabek meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga berlaku untuk kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Makassar, Palembang, dan lainnya.
Jika kamu merasakan sesuatu, tidak ada yang salah dengan apa yang kamu rasakan. Ada berbagai faktor yang menyebabkan cuaca panas di kota-kota, seperti kelembaban yang tinggi, hari yang panas, dan lain sebagainya.
Nyatanya, faktor suhu bukan hanya waktu, apalagi di kota-kota yang padat dengan bangunan dan aktivitas manusia. Faktor lainnya adalah “Heat island”, menurut Joko Wiratmo, profesor meteorologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) melansir Kumparan.
Fenomena Heat Island Picu Suhu Panas di Jabodetabek
Istilah “heat island” mengacu pada daerah perkotaan yang lebih panas dari daerah sekitarnya akibat aktivitas manusia. Menurut Joko, fenomena ini bisa karena menipisnya pepohonan di perkotaan. Bagian tanah ini telah berubah menjadi bangunan, jalan, pabrik, dan penggunaan lainnya.
Panas juga dapat disebabkan oleh emisi dari sektor industri, pembangkit listrik, dan transportasi umum dan swasta. Berkurangnya tutupan tanah dan meningkatnya aktivitas manusia memerangkap panas di permukaan. Saat udara kota terperangkap, suhunya naik.
Menurut sebuah penelitian yang terbit dalam jurnal IOPScience, suhu permukaan di Jakarta melampaui 30 derajat Celcius pada tahun 2008, meliputi 36,5% dari luas daratan kota, atau sekitar 23.846 orang. Pada 5 tahun lalu, wilayah dengan suhu di atas 30 derajat Celcius meluas hingga 84,7% dari wilayah DKI Jakarta atau sekitar 55.340 jiwa.
Ukuran bangunan Jakarta yang bobrok menunjukkan hal ini. Terdiri dari air reklamasi dan lahan pertanian. Selain alih fungsi lahan, bentuk bangunan dan letaknya berdampak pada kemampuan suatu kawasan untuk pengendalian suhu.
Menurut The Conversation, sebuah penelitian oleh Taha Chaiechi, seorang dosen senior di Universitas James Cook Australia, menemukan bahwa kecepatan angin, jumlah sinar matahari, dan jumlah naungan mempengaruhi suhu kota.
Padahal, penggunaan batu bara berdampak pada peningkatan curah hujan ekstrem di Jakarta dan sekitarnya antara tahun 1961 hingga 2010. Iklim ekstrem ini diperparah dengan peningkatan konsentrasi nitrogen, sulfur, dan partikulat – emisi bahan bakar fosil – di wilayah Jakarta antara tahun 1986 dan 2021.
Menurut Joko, Heat island dapat dikelola dengan mengurangi aktivitas manusia, misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak kendaraan pribadi seminimal mungkin atau dengan memanfaatkan energi terbarukan.
Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan perencanaan kota untuk mengurangi risiko panas yang terperangkap di area tertentu. Penambahan ruang hijau pada area terbuka juga bisa menjadi solusi yang baik.
Yuk, kunjungi laman Instagram dan Facebook Media Edukasi Indonesia untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta unik lainnya ya!