Bangsa yang pintar atau cerdas adalah bangsa yang rajin membaca dan menulis, dengan membaca kita banyak tau, dengan menulis imajinasi akan terasah. Tanpa banyak membaca dan menulis kita adalah bangsa yang terjajah dan mudah dibodohi.
Salah satu cara mengasah imajinasi kita adalah dengan menulis. Menulis merupakan sarana dan media yang sangat efektif dalam menyampaikan sebuah pesan karena bisa dibaca oleh semua khalayak dan merupakan sebuah wadah untuk menyalurkan ide-ide yang sifatnya membangun atau bisa jadi sebuah gagasan yang belum pernah terfikirkan oleh orang lain sebelumnya yang kemudian juga dirasakan manfaatnya oleh generasi ke depannya. Dan menulis merupakan media dakwah yang abadi yang merupakan amal jariyah atau ilmu yang bermanfaat.
Alwasilah (2007:5) menyatakan bahwa seputar menulis yang justru diawali dengan penggunaan bahasa secara ekspresif dan imajinatif seperti lewat catatan harian. Artinya, keterampilan menulis dapat diperoleh dari kebiasaan menulis. Membiasakan menulis itu hal yang baik, berarti melatih diri menggunakan kosakata dan bahasa kemudian merangkainya, sehingga tercipta kalimat yang baik.
Semi (2007:4) berpendapat bahwa manfaat menulis dapat menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat realitas disekitar lingkungan itulah yang kadang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penulis. Seseorang dalam menulis memiliki rasa ingin tahu dan melatih kepekaannya terhadap lingkungan sekitar.
Sebagaimana yang kita ketahui, pada dasarnya setiap ulama pasti menulis dan memunculkan sebuah, beberapa, atau banyak karya karena menulis merupakan tradisi para ulama. Sebagai contoh, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA adalah seorang ulama, sejarawan, politikus dan sastrawan Indonesia yang namanya sangat dikenal oleh masyarakat. Sosok kelahiran 17 Februari 1908 di sebuah lokasi yang bernama Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat ini tergolong seorang pembelajar yang otodidak dalam berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Ia tercatat sebagai seorang penulis Muslim paling produktif dan profilik dalam sejarah modern Indonesia. Hingga sekarang, karya- karyanya telah dicetak ulang berkali- kali dan banyak dijadikan sebagai bahan kajian oleh para peneliti dari Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sebagian karyanya bahkan telah diangkat ke layar lebar, yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tafsir Al-Azhar adalah karya terbesar HAMKA di antara lebih dari 114 karya yang pernah ia tulis.
Kata-kata bijak terbaik Buya HAMKA –
“HAMKA: Menulislah, Maka Anda Akan Hidup Abadi”
Jadi salah satu cara untuk bisa menjadi abadi adalah dengan menulis, karena karya itu tidak akan pernah mati selama dibaca dan digunakan orang lain manfaatnya. Seperti halnya ulama kita ini “HAMKA” yang sampai sekarang masih dirasakan manfaat dari hasil tulisan-tulisannya.
Ada sebuah kata motivasi bagi mereka yang sudah tidak asing lagi bagi bagi kita:
“Berbicara itu mudah namun sulit dipertanggungjawabkan. Menulis lebih sulit namun lebih mudah dipertanggungjawabkan.”
― Felix Y. Siauw
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
― Pramoedya Ananta Toer, House of Glass
Membaca dan menulis itu penting bukan hanya bagi masyarakat terdidik yang hendak dibangun Al-Qur’an, melainkan juga untuk menciptakan kebudayaan, menghasilkan pengetahuan anyar, dan jadinya, membangun satu peradaban dinamis yang maju. Membaca dan menulis adalah perangkat dasar yang telah diajarkan Tuhan kepada kita untuk berkomunikasi (Q.S. al-Rahman [55]: 4) dan menanamkan pemikiran kritis kepada manusia.
Nabi Muhammad sendiri sangat menekankan pentingnya penulisan sesuatu. Dia mengikuti nasihat yang disampaikan Al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah [2]: 282) untuk menuangkan segala sesuatu dalam tulisan: “Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya.” Salah satu tindakan pertama yang dia lakukan saat tiba di Madinah yaitu menulis satu konstitusi bagi warga kota yang menjamin keamanan dan kemerdekaan beragama, menetapkan sistem pajak, dan mekanisme penyelesaian konflik. Akan tetapi, pena bisa digunakan untuk menganjurkan kebaikan sekaligus mendorong kejahatan. Ayat-ayat pembuka surah al-Qalam (Pena), melukiskan nilai ini:
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ(1)مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ(2)
“Demi kalam (pena) dan apa yang mereka tulis!” demikian awal surah ini, “Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muhammad) sekali- kali bukanlah orang gila.” (Q.S. al-Qalam [68]: 1-2).
Salah satu tuduhan awal penduduk Makkah kepada Muhammad ialah bahwa dia orang gila. Tuduhan itu tidak lantas menjadi benar hanya karena tuduhan itu dituliskan. Kalimat “dan apa yang mereka tulis” memiliki makna ganda. Di satu sisi, kalimat ini tentu saja merujuk secara umum pada apa yang ditulis orang. Di sisi lain, ini juga merujuk pada Al-Qur’an sendiri, yang dituliskan sejumlah penyalin ketika kitab suci ini diturunkan.
Pesan- pesan yang disampaikan dalam sebuah tulisan, ada kalanya suka maupun duka atau realita tergantung waktu dan kejadian serta tema peristiwa sesuai dengan sudut pandang penulis.
Dalam kehidupan sehari- hari kita pasti banyak mengalami berbagai hal, kalau kita mampu mengemasnya dalam bentuk karya, baik fiksi maupun non fiksi tentu akan memiliki makna tersendiri karena setiap hasil buah pikiran yang telah dituangkan dan disajikan dengan bahasa yang indah dan unik akan memiliki nilai yang sangat tinggi, karena setiap manusia mempunyai keunikan tersendiri dan setiap yang unik itu pasti indah dan berharga. Sebuah tulisan yang dituang menjadi sebuah karya akan bermanfaat dan memberikan nilai positif kepada pembaca serta juga memotivasi kita untuk selalu berkarya.
Namun sebaiknya, menulis diawali dengan membaca sebagaimana yang kita jumpai dalam Al-Qur’an kata perintah “bacalah!” merupakan firman pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Wahyu Al-Qur’an mulai turun pada malam 27 Ramadan 611 Masehi, ketika Rasulullah sedang tafakur di Gua Hira dekat Makkah. Kita tahu bahwa Muhammad adalah buta huruf. Diceritakan bahwa Nabi Muhammad menjawab lima kali, “Aku tidak bisa membaca.” Namun, wahyu bersikeras bahwa dia harus membaca. “Apa yang harus aku baca?” Rasulullah akhirnya bertanya. “Bacalah!” demikian jawaban wahyu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4)عَلَّم الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)
“Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah; yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5).
Ayat-ayat pertama ini menegaskan bahwa membaca memiliki tempat khusus dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, tindakan membaca juga menghajatkan sesuatu untuk dibaca. Jadi, membaca yang diikuti oleh menulis, penggunaan kalam atau pena, alat yang membuat kita mengetahui “apa yang tidak kita ketahui sebelumnya”. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan bagian penting dalam penemuan. Inilah satu jalan yang mengantarkan manusia pada kegemilangan dan kesempurnaan.
Menulis bisa dilakukan oleh siapa saja, karena bukan orang yang berbakat saja yang bisa melahirkan karya-karya dari tulisannya, melainkan mereka yang mau menuliskannya. Bukankah para ulama kita yang mempunyai karya atau buku juga tidak semua mereka memiliki bakat untuk menulis tapi mereka mencoba menuangkan ilmunya lewat sebuah buku agar bisa dikenang dan dipelajari generasi sesudahnya. Karena ilmu itu kalau tidak dituliskan akan cepat hilang sebagaimana sejarah Islam menceritakan bahwa betapa banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang dibunuh dan hasil pemikirannya juga ikut hilang. Untuk mengantisipasi bahwa kita sebagai hamba Allah yang tidak kekal, sebaiknya kita menuliskan hasil pemikiran kita yang bermanfaat dalam bentuk buku agar dapat dimanfaatkan dan dikenang semua orang meskipun kita telah meninggal nantinya.
Dari dalil dan pemaparan di atas jika masyarakat dan pemuda Indonesia memahami pesan Allah ini tentu saja budaya Literasi di negara kita semakin meningkat sebagaimana cita- cita literasi Nasional untuk menghasilkan generasi Robbani, Intelek dan Bermartabat. Karena intinya kitalah yang punya doktrin itu dan kita lah yang sepatutnya menguasai seluruh rahasia Allah SWT terlebih dahulu.
Kontributor Media Edukasi Indonesia : NOVI HANDRA, S.Pd.I